Di Pagi hari yang cerah, ketika cahaya matahari menyinari menembus dedaunan yang berkumpul di sektar jendela kamar Nisa, anak dari keluarga yang kaya raya, bangunlah Talia. Talia adalah sebuah bantal pemberian kakeknya Nisa dikala Nisa sedang dalam kandungan mamanya. Talia terbangun karena dia tak tahan dengan hangatnya sinar mentari pagi. Ketika itu burung – burung yang selalu mengunjungi Nisa setiap hari itu sedang dalam mood yang baik, merekapun bernyayi dengan riang gembira. Mendengar nyanyian burung tersebut dan tak lama setelah Talia bangun dari tidurnya, Aling ikut terbangun. Aling adalah sebuah guling yang dibuat dengan cinta. Dijahit di Italia dengan menggunakan bahan sutra dari tangan seseorang yang telatih membuat guling untuk kediaman sang Paus, pemimpin Negara Vatikan. Mereka adalah sepasang bantal dan guling kesukaan Nisa.
Nisa adalah anak yang sangat perfeksionis, kamarnya sebagian besar berwarna belang putih hitam, layaknya kulit zebra. Nisa juga suka menghias peralatan peralatan yang dia punya. Pensil dan penghapus adalah benda yang paling sering dihias, sekedar info bahwa pensil dan penghapus yang dia punya adalah pemberian dari teman dekatnya dulu ketika Nisa duduk di bangku SMP. Sekarang dia kelas 10 dan benda yang paling disukainya ialah bantal dan guling yang selalu menemaninya kapanpun ketika dia berada di dalam rumahnya. Tembok yang mulus dan memantukan sinar adalah sebagian besar tembok yang berada dalam rumah Nisa. Orang tua Nisa menyebut rumah itu Mut – Mut yang berarti seli-Mut. Ya dirumah itu Nisa dan keluarganya berbagi kehangatan didalam keharmonisan Rumah tangga yang dibangun.
Nisa sendiri sebenarnya orang yang sangat penyayang. Terbukti ketika dulu saat malam perpisahaan di sekolah menengahnya, dia memberikan seluruh teman temanya hadiah yang nggak akan ada orang yang menyamai pemberianya saat itu. Dia memberi teman temanya itu sekeping koin emas yang didalamnya terdapat ukiran nama seluruh temanya satu kelas. Selain itu, dia memberikan hadiah spesial untuk teman dekatnya, Sone. Sesuatu yang sangat jarang orang memikirkanya. Nisa memberi temanya itu secarik kertas lusut yang dilaminating bertuliskan tanda tangan mereka berdua dalam sebuah kalimat “Kita sahabat, Selamanya”
Di hari Senin bulan Agustus 2008, kamar yang berantakan, buku berserakan, kertas dimana mana, sebuah pensil dan telepon genggam di tanganya, Nisa sedang mengalami kesedihan yang amat mendalam. Ketika itu langit menghiasi suasana tersebut dengan datangnya hujan lebat dangan dentuman petir yang kuat. Sebuah momen yang tepat untuk menangis. Nisa masih tidak bisa menerima kabar dari telepon genggamnya itu bahwa orang yang paling disayangnya itu meninggalkan dunia. Mereka adalah sahabat Nisa ketika saat masih bayi. Merekalah sahabat sejati yang tak terhapus oleh waktu. Kecelakaan yang menimpa orangtua Nisa sangat memukul berat hatinya. Rasa digaplok dan dilindas oleh kenyataan dan realita yang pahit.
Ketika hari baru bersemi, Aling dan Talia tenyata dalam kondisi yang menyedihkan. Selimut / kain yang membungkus Talia dan Aling yang lebut itu kotor dan kusam dengan tetesan air mata Nisa dikala malam itu Talia dan Aling menjadi objek pelukan dan menutup muka Nisa yang masih dibalut kesedihan. Aling dan Talia hanya bisa diam dan berharap bahwa Nisa harus menjadi anak yang kuat. Karena Nisa mempunyai banyak sahabat yang akan terus setia mendampingi dan mendukung Nisa depan belakang.
Beberapa ruangan kamar Mut Mut menjadi kosong dan sunyi. Suara gesekan meja makan di ruang makanpun semakin hari semakin tak terdengar, meskipun hanya sebatas bunyi dencitan antara kursi kayu dengan lantai. Hari ini Nisa sedang berada dalam kamar. Ditemani oleh Aling dan Talia. Saat itu Nisa sendiri dirumah itu, menghadapi kenyataan pahit lain. Aling dan Talia saat itu sedang menangis. Mereka tahu bahwa mereka belum menjadi yang terbaik buat Nisa. Pagi itu, Pak Bon mendobrak pintu kamar Nisa, bersama bibi dan paman Nisa, kemudian mereka menangis. Nisa tertidur dengan senyuman di rupa wajahnya dan secarik kertas,
” Aku mencintai semua sahabatku, mereka adalah yang terbaik, aku ingin menyusulnya. Berkat sakitku saat ini, aku kembali menyusul mereka yang telah tiada. Bersama Bantal dan Gulin ini. Mereka sahabatku, dan aku menyayanginya dalam bentuk dan wujud apapun”